Thailand dalam Kebingungan Setelah Pemilu Dibatalkan
Mahkamah Konstitusi Thailand, Jumat (21/3) membatalkan pemilihan umum bulan lalu, membuat negara itu berada dalam kebingungan politik tanpa pemerintahan penuh, dan semakin menghancurkan kekuasaan seorang perdana menteri yang menghadapi penggulingan karena skema subsidi beras yang gagal.
Mahkamah Konstitusi memutuskan dengan suara enam lawan tiga pada Jumat bahwa pemilu tersebut tidak konstitusional karena pemilihan gagal dilakukan pada hari yang sama di seluruh negeri.
Pemungutan suara tanggal 2 Februari itu diganggu oleh oposisi, sehingga parlemen tidak dapat mengisi 95 persen kursi yang diperlukan untuk mencapai kuorum dan memilih seorang perdana menteri. Belum diketahui kapan akan diadakan pemilihan baru.
Dilemahkan dalam era lima bulan pergolakan di negaranya, Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dijadwalkan untuk membela diri di komisi anti-korupsi pada 31 Maret, dan keputusan untuk menurunkannya dapat datang sebelumnya, karena Senat diperkirakan akan bertindak cepat dalam masalah ini.
Dengan semakin dalamnya krisis, ada risiko yang meningkat bahwa para pendukung “kaus merah” dari kelompok Yingluck dan kakaknya, mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra, dapat berkonfrontasi dengan para lawan mereka di jalanan, menjatuhkan Thailand ke dalam putaran baru kekerasan politik.
Sebanyak 23 orang telah tewas dalam konflik tersebut sejak November, dan ekonomi terpukul serta turis menjauh saat para demonstran menduduki kantor-kantor pemerintahan dan beberapa kali memblokir jalanan utama di Bangkok untuk memaksa Yingluck turun.
Kepercayaan konsumen berada di tingkat terendah dalam 12 tahun terakhir, mendorong bank sentral pada Jumat menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi 2,7 persen dari 3 persen.
Karena yakin Partai Puea Thai yang berafiliasi dengannya akan menang, Yingluck telah mengadakan pemilihan umum pada 2 Februari dalam rangka menenangkan protes-protes anti-pemerintah, dan sejak itu telah memimpin pemerintahan sementara dengan kekuasaan terbatas.
Para demonstran anti-pemerintah telah berhenti memberikan suara pada sekitar seperlima konstituensi, dan pada 28 diantaranya pemberian suara tidak dimungkinkan karena para kandidat tidak bisa mendaftar. (Reuters/VOA)